Sabtu, 30 November 2013

ACM Bagian III: METODE ACM SANGAT EFEKTIF UNTUK PROGRAM PERCEPATAN PENUNTASAN BUTA AKSARA

Pendidikan merupakan sarana terpenting untuk mewujudkan kemajuan bangsa dan negara. Dengan pendidikan yang bermutu, akan tercipta sumber daya manusia yang berkualitas. Salah satu persoalan besar yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah rendahnya kualitas pendidikan nasional.

Oleh sebab itu, perlu adanya penyempurnaan terus-menerus dan berkesinambungan agar kualitas pendidikan semakin meningkat. Usaha pemerintah untuk mewujudkan peningkatan kualitas manusia Indonesia salah satunya adalah dengan meningkatkan pembangunan pada sektor pendidikan.

Sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 pasal 3 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Dalam rangka meningkatkan pendidikan dan kemampuan warga belajar tersebut pemerintah menyelenggarakan pendidikan untuk masyarakat, baik pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah. Jalur pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah, berkesinambungan  dan berjenjang, memiliki aturan yang ketat dan pendidikannya berupa pendidikan formal. Sedangkan jalur pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang mencakup pendidikan in formal dan non formal, diselenggarakan diluar sekolah, yang tidak harus berkesinambungan  dan berjenjang.

Upaya pencapaian tujuan pendidikan luar sekolah dapat ditempuh melalui berbagai program antara lain seperti kursus, pelatihan , magang, life skill, pendidikan kesetaraan dan satuan pendidikan lainnya. Untuk mengembangkan kemampuan masyarakat ini, salah satu bentuk kegiatan yang diselenggarakan melalui pendidikan luar sekolah adalah program pendidikan keaksaraan, yaitu program pendidikan  yang memberikan kesempatan bagi masyarakat yang buta aksara guna mendapatkan pendidikan dan keterampilan (skill) yang belum mereka kuasai. Program pendidikan keaksaraan merupakan salah satu pendidikan alternatif guna mendukung suksesnya gerakan nasional wajib belajar sembilan tahun (Masdjudi,2009;2).

Permasalahan yang saat ini terjadi di Indonesia adalah tingginya tingkat warga buta aksara yang disebabkan oleh kurangnya kesempatan belajar yang dapat diperoleh karena tingkat kemiskinan yang cukup tinggi sehingga warga tidak mampu memfasilitasi dirinya untuk belajar. Kebutaaksaraan  merupakan masalah yang terjadi hampir di semua negara. Buta aksara  juga sering menyebabkan seseorang tidak berpenghasilan tetap sehingga produktivitas mereka relatif rendah. Sebagaimana Muhsin (2006:37) menjelaskan bahwa pemberantasan buta aksara merupakan salah satu program pendidikan luar sekolah yang sampai saat ini sedang dilaksanakan dan menjadi bagian integral dari upaya pemerintah untuk mengentaskan masyarakat dari kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan  dan  ketidakberdayaan. Karena kebutaaksaraan menjadi pembatas bagi seseorang untuk tidak bisa masuk ke bursa lapangan kerja profesional.

Dikeluarkannya Intruksi Presiden No.5 Tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara  pada tahun 2006 (Masdjudi,2009;2), merupakan wujud nyata keseriusan pemerintah dalam menanggulangi permasalahan buta aksara di Indonesia. Dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah sudah berkomitmen untuk mencapai target penuntasan buta aksara yang ditargetkan tercapai pada tahun 2009. Jika pada tahun ini target terpenuhi, maka pemerintah  akan bisa memenuhi 50% dari total penyandang buta aksara nasional. Penyandang buta aksara usia 15 tahun ke atas harus diturunkan menjadi lima persen atau 7,7 juta manusia pada tahun 2009, dari 10,21 pesen atau 15,4 juta penduduk pada tahun 2004. Target ini sesuai dengan target nasional, yakni pada tahun 2009 penduduk buta aksara tinggal 5% saja.

Tentu saja hal ini merupakan pekerjaan rumah yang berat dan memerlukan upaya serta pendanaan yang tidak kecil serta penanganan yang lebih serius. Data mutakhir yang dirilis Direktorat Jenderal (Dirjen) Pendidikan Nonformal dan Informal (PNFI) Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas, 2010) bahwa angka penderita buta aksara saat ini mencapai 8,4 juta jiwa. Sekitar 65% atau 5,46 juta jiwa di antaranya adalah kaum perempuan dengan usia rata-rata di atas 40 tahun. Menurut Dirjen PNFI, Hamid Muhammad (2010), setiap tahun, 880 ribu anak Indonesia berpotensi buta aksara. Jumlah tersebut berasal dari daerah terpencil sekitar 300 ribu anak, dan 580 ribu atau 1,7% dari 1,29 juta anak-anak SD yang putus sekolah antara kelas 1 dan 3 (www.yipd.or.id, 20 September 2010).

Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa implementasi program  atau penuntasan buta aksara masih mengalami cukup banyak kendala, antara lain karena rendahnya minat dan motivasi belajar warga belajar, kesulitan tutor untuk memulai pembelajaran, dan belum semua desa dapat teridentifikasi jumlah penduduk yang menyandang buta aksara. Penyebabnya antara lain adalah warga belajar masih malu dan belum tahu manfaat nyata mengikuti pembelajaran, mereka pada umumnya sibuk bekerja mencari nafkah sehingga tidak memiliki waktu untuk belajar serta terbatasnya jumlah modul dan bahan ajar serta kesempatan mengikuti pelatihan menyebabkan para tutor mengalami kesulitan memulai dan mengelola proses pembelajaran (Muhsin,2006;37).

Selain kendala yang dihadapi, selama ini program penuntasan buta aksara  juga belum diketahui secara pasti apakah hasil yang telah dicapai sesuai dengan tujuan, waktu, dan hasil yang diharapkan. Dalam pelaksanaan program penuntasan buta aksara terdapat kelemahan-kelemahan, baik dari segi kualitas penyelenggaraan maupun kualitas hasil belajar atau lulusan yang masih sangat jauh dari yang diharapkan. Kelemahan-kelemahan ini antara lain adalah disebabkan target waktu yang tidak sesuai dengan program pembelajaran yang telah ditentukan. Selain target waktu, keberhasilan warga belajar dalam belajar juga dipengaruhi oleh faktor metode pembelajaran yang digunakan oleh tutor dalam mengajar. Warga belajar dapat mencapai prestasi belajar yang maksimal bila seorang tutor tepat dalam menerapkan metode pembelajaran.

Menurut Kuntoro (2007;24-25)  permasalahannya bukan semata-mata terletak pada peserta belajar (seperti halnya anak-anak yang sering tidak masuk sekolah), tetapi terletak pada isi program dan metode pembelajarannya. Selain warga belajar, unsur terpenting yang ada dalam kegiatan pembelajaran keaksaraan adalah tutor. Seorang tutor dalam menyampaikan materi pembelajaran perlu memilih metode mana yang sesuai dengan keadaan kelompok sehingga warga belajar merasa tertarik untuk mengikuti pelajaran yang diajarkan. Menurut Kamil dalam (Ali,2007:301) seorang tutor harus mampu membaca situasi perilaku dari warga belajar untuk mengarahkan pada tujuan.

Satu permasalahan penting dalam penyelenggaraan pendidikan keaksaraan adalah aspek metodologi. Hal ini kemudian di jabarkan oleh Djamarah (2002:87) bahwa efektivitas penerapan metode dapat terjadi apabila ada kesesuaian antara metode dengan semua komponen pengajaran yang telah diprogramkan dalam satuan pelajaran, sebagai persiapan tertulis. Karena penggunaan metode seharusnya dapat menunjang pencapaian tujuan pengajaran. Metode merupakan bagian yang sangat penting, karena “dapat diketahui keaktifan peserta dalam melaksanakan kegiatan belajarnya” sebagaimana yang dijelaskan oleh Marzuki (1996/1997;24). Metode menurut Joesoef  (1999;114) adalah “suatu kerangka kerja dan dasar-dasar pemikiran digunakannya cara-cara yang khusus. Metode merupakan jalan menuju suatu tujuan. Sedangkan teknik merupakan cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan”.

Program penuntasan buta aksara yang dicanangkan oleh pemerintah bertujuan supaya para penyandang buta aksara memperoleh keterampilan dasar untuk membaca, menulis, berhitung, memperoleh keterampilan-keterampilan fungsional yang bermakna bagi kehidupan sehari-hari serta mampu berbahasa Indonesia sehingga mereka mampu meningkatkan kualitas kehidupannya. Kegiatan pembelajaran harus dapat meningkatkan perolehan pengetahuan dan keterampilan membaca, menulis dan berhitung yang perlu di kuasai peserta didik (Masdjudi,2009;14).

Fokus pembelajarannya adalah mengoptimalkan penguasaan hasil pembelajaran secara tuntas. Sebagaimana dijelaskan oleh  dinas P dan K Propinsi Jawa Timur bahwa program percepatan harus disusun berdasarkan tiga tahap standar kompetensi  yaitu (1) standar yang berdasarkan pengembangan keterampilan dasar yang sesuai dengan kebutuhan sehari-hari warga belajar.(2) tahap pembinaan yang dapat membantu warga belajar memanfaatkan calistung dalam kehidupan sehari-hari. (3) tahap pelestarian yang dapat membantu warga belajar dapat meningkatkan taraf hidup (Muchsin, 2006:39).

Supaya gerakan penuntasan buta aksara dapat berjalan baik dan efektif, pemerintah telah melakukan berbagai upaya dengan mengoptimalkan segala potensi yang ada dan salah satunya adalah dengan mengembangkan metode pembelajaran keaksaraan yang inovatif.

Keberhasilan pelaksanaan pembelajaran buta aksara di lapangan akan sangat berpengaruh terhadap suksesnya program percepatan penuntasan buta aksara. Untuk itu diperlukan suatu metode pembelajaran yang inovatif dan memiliki waktu yang relatif lebih singkat. Metode pembelajaran adalah upaya yang dilakukan untuk menghasilkan pembelajaran yang efektif serta mampu meningkatkan prestasi belajar WB buta aksara. Karena metode pembelajaran yang tidak tepat akan menjadi penghalang kelancaran jalannya proses pembelajaran sehingga banyak waktu dan tenaga yang terbuang sia-sia.

Oleh karena itu metode yang diterapkan tutor baru  dikatakan berhasil, jika mampu dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Semakin baik pemilihan metode pembelajaran yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai akan semakin efektif. Hal ini menunjukkan bahwa tutor dapat memilih metode yang tepat dan yang sesuai dengan tujuan pelajaran yang akan dicapai maka tujuan itu akan lebih mudah dicapai. Guna mengetahui efektif atau tidaknya suatu metode pembelajaran, perlu diujicobakan dan hasilnya dibandingkan dengan hasil belajar yang dicapai warga belajar dengan menggunakan teknik pembelajaran lain.

Ada beberapa alternatif metode pembelajaran buta aksara yang dapat dipilih dan digunakan sesuai dengan kebutuhan proses pembelajaran yang akan diselenggarakan. Salah satunya adalah metode ACM, adalah suatu teknik pembelajaran membaca dan menulis yang digunakan oleh tutor dalam membelajarkan warga belajar dan dilaksanakan selama 12  kali pertemuan dan 90 menit setiap harinya dengan alokasi waktu pembelajaran selama 1,5 jam, sehingga pada akhir program dapat mencapai 18 jam belajar efektif. Untuk selanjutnya proses pembelajaran diselenggarakan dengan menggunakan bahan belajar dan alat peraga tertentu yang relevan dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. (Panduan Mengajar Tutor Metode ACM, 2010)

Pembelajaran buta aksara tingkat dasar dengan ACM menggunakan pendekatan dan teknik serta strategi baru yang berbeda dengan metode yang konvensional, sehingga pembelajaran dapat berlangsung dengan praktis, efektif dan efisien.  Dalam buku panduan mengajar tutor (2010;3) dijelaskan bahwa keunggulan Metode ACM adalah dengan memberikan kesempatan kepada warga belajar untuk ikut serta secara aktif dalam kegiatan pembelajaran, mulai dari materi awal proses pembelajaran sampai pada materi akhir proses pembelajaran. Metode ACM disusun dengan memenuhi standar pembelajaran inovatif, yaitu mudah, cepat dan menyenangkan. Standar ini dapat dipenuhi apabila diajarkan sesuai dengan petunjuk pengajaran yang telah ditentukan dalam panduan belajar.

Proses pembelajaran dengan Metode ACM dilaksanakan dengan cara yang sederhana dan dapat diterapkan oleh para tutor. Meskipun dengan cara yang sederhana dalam proses pembelajarannya, namun Metode ACM tetap mengacu pada indikator keberhasilan. Dengan teknik pengajaran yang unik dan khas, Metode ACM bisa diajarkan oleh tutor pada warga belajar dengan karakteristik yang berbeda-beda. Keunggulan lainnya adalah ketika tutor menggunakan metode ini bukan mengajar, tetapi hanya mendorong, hingga tutor hanya Tut Wuri Handayani. WB dianggap telah memiliki persiapan dengan pengetahuan tersedia. WB membuka bahan ajar atau melihat alat peraga/papan tulis tidak dalam keadaan kosong. Karena sudah memiliki persiapan, maka WB tinggal membaca sendiri, memisah sendiri, memilih sendiri dan memadu sendiri. Sehingga WB  tampak  cerdas. Proses pembelajaran dengan metode ini disebut juga Cara Belajar Aktif.

By : Nur Tsuroyah, M.Pd
Instruktur Metode ACM


SELESAI

ACM Bagian II: APA SIH METODE AKU CEPAT MEMBACA (ACM) ITU ?

Tanggal 26 oktober, malam hari saya membuka email. Saya menemukan email terbaru yang ternyata berasal dari tim ACM. Sayang sekali, ketika saya mencoba mendownload file yang dikirim oleh tim ACM tersebut, file yang saya terima rusak. Padahal, file tersebut berisi tahapan metode ACM yang sungguh membuat saya penasaran sejak dahulu. Untuk itu, saat ini saya hanya bisa memberi gambaran awal mengenai ACM yang di tulis resmi oleh Ibu Nur Tsuroyah, salah seorang instruktur ACM dalam grup resmi ACM.
ACM  adalah metode pembelajaran membaca dan menulis permulaan untuk anak usia dini dan orang dewasa penyandang buta aksara dan membantu peserta didik memahami konsep membaca dan menulis secara mudah, cepat dan menyenangkan. ACM dirancang untuk mempermudah peserta didik dapat cepat belajar dalam membaca dan menulis.   

Metode ACM Mencoba Memberikan Alternatif Belajar  Membaca permulaan dengan Konsep “bermain sambil belajar” dan “ Belajar dengan Menyenangkan”, peserta didik tidak dipaksa untuk harus mau membaca. akan tetapi diarahkan dan dibantu untuk belajar membaca dan menulis dengan baik dan benar.

Berbeda dengan pendekatan metode pendidikan atau pembelajaran membaca dan menulis yang pada umumnya menempatkan pengenalan huruf sebagai langkah awal mengenalkan membaca pada anak,  metode ACM justru menempatkan pengenalan huruf  pada akhir pembelajaran. ACM mengajarkan membaca secara utuh meliputi kata lembaga, perubahan bunyi a,i,u,e,o, bunyi transfer (sulit), bunyi nga-nya, bunyi mati, bunyi –ng , latihan membaca dan pengenalan huruf.  Materi ACM pun disusun dan disesuaikan dengan kemampuan rata-rata anak  yaitu dimulai dari pengenalan bunyi yang paling mudah hingga pengenalan bunyi yang paling sulit.

Metode ACM dapat diikuti oleh anak usia dini, TK (pra-sekolah), SD, dan orang dewasa. Dengan pendekatan pembelajaran yang menyenangkan peserta didik secara bertahap dari materi kata lembaga ia mulai belajar sampai materi terakhir yaitu pengenalan huruf.  peserta didik dapat belajar melalui kursus di kelas secara klasikal maupun di rumah secara privat.

Metode Pembelajaran ACM didesain secara istimewa, lain dari yang lain. Sangat inovatif dan kreatif sehingga membuat semua anak didik akan ketagihan belajar membaca dan menulis. Mereka menguasai tidak saja dalam hal kemampuan membaca dan menulis, tetapi yang lebih penting adalah mereka memahami konsep dasar dari membaca dan menulis itu sendiri. Dan tentunya hal ini sangat baik bagi prestasi anak didik di sekolah, maupun di masa depannya.

Metode ACM  ini memiliki komposisi pembelajaran 70% belajar membaca dan 30% belajar menulis. Pembelajaran ini juga menggunakan konsep sambil bermain, mengembangkan kreatifitas dan imajinasi dengan bercerita, alat peraga, musik sebagai media dan bahan belajar  serta media-media pendukung lainnya.

TERUJI SECARA ILMIAH

Metode belajar Membaca dan menulis ACM telah dijadikan bahan studi penulisan karya ilmiah, skripsi dan tesis oleh mahasiswa dari  perguruan tinggi. Dan telah terbukti bahwa metode pembelajaran membaca dan menulis ACM mempunyai pengaruh signifikan terhadap hasil pembelajaran. Bahkan tidak terbatas pada pembelajaran untuk anak-anak saja, namun konsep dasar metode pembelajaran membaca dan menulis ACM mulai diteliti dan dikembangkan untuk pembelajaran orang dewasa buta aksara. Teknik atau cara mengajar yang menjadi ciri khas khas metode ACM pun telah diteliti secara khusus. Hal ini menunjukkan bahwa metode pembelajaran membaca dan menulis ACM benar-benar mempunyai kualitas yang bisa dipertanggung jawabkan secara keilmuan.

MENCIPTAKAN PARADIGMA BARU TENTANG BELAJAR MEMBACA

Fakta di lapangan membuktikan bahwa Hampir semua Guru/ Tutor atau lembaga pendidikan anak usia dini selalu menempatkan membaca (calistung) sebagai ‘musuh’ nomor satu. Mereka memandang membaca sebagai pembelajaran yang  menakutkan  dan sudah seharusnya dihindari oleh anak didik. Bahkan, sang guru pun sering pula alergi untuk mengajarkan membaca. Hal ini karena adanya kontroversi yang berkembang di masyarakat yang menyatakan bahwa anak usia dini tidak boleh diajarkan membaca karena pembelajaran anak usia dini itu lebih mengarah pada “bermain”.

ACM bertekad merubah semua paradigma (pandangan) keliru seperti itu. membaca harus menjadi primadona. Setiap anak didik harus menyukai membaca. guru juga harus sadar bahwa kemajuan peradaban ini dibutuhkan kemampuan membaca.  membaca adalah kunci dari  ilmu pengetahuan. Tanpa penguasaan membaca, jangan berharap akan ada kemajuan.

Pada kenyataannya cukup susah merubah paradigma yang telah berkembang selama ini, tetapi ACM telah melangkah untuk melakukannya. Dan hasilnya sangat menggembirakan. Tidak satupun anak didik di SANGGAR ACM yang merasa bahwa belajar membaca dan menulis itu membosankan, dan yang mereka rasakan (justru) mengasyikkan. Para guru/tutor  metode ACM pun dipersiapkan secara khusus untuk mengajarkan membaca dan menulis dengan teknik dan pendekatan yang telah ditentukan secara menyenangkan (fun)yang memang menjadi landasan utama metode ACM. Inilah salah satu kelebihan metode ACM yang tidak ditemukan ditempat kursus calistung  lainnya.

CIRI KHAS METODE ACM
ü  Cepat
ü  Mudah
ü  Menyenangkan
ü  Anti Lupa
ü  Tanpa mengeja
ü  Tanpa Menghafal Huruf
ü  tanpa level
ü  tidak berjilid
ü  tanpa tes assesment + tes akhir

BERSAMBUNG..

Kamis, 28 November 2013

‘Rombeng’ (Rombong Dongeng)

PROPOSAL INOVASI PEMBELAJARAN

“ROMBENG” (ROMBONG DONGENG) : Metode Meningkatkan Minat Baca Anak Usia Sekolah Usia 3,5-6 Tahun

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Difusi Inovasi
Yang dibina oleh Ibu Endang Sri Redjeki


Disusun Oleh:
Hawwin Fahmi Ramadhan                    120141411488
Kapit Tatak Aprianto                             120141411499
M. Arif Irwanto                                     120141411491
M. Sivana Ridho                                    120141411490
Poppy Trisnayanti Puspitasari                120141400970
Shobri Firman Susanto                          120141411489
Wiwin Januaris                                      120141411501



UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
2013



“ROMBENG” (ROMBONG DONGENG) : Metode Meningkatkan Minat Baca Anak Usia Sekolah Usia 3,5-6 Tahun

RINGKASAN
Pendidikan sering diartikan sebagian besar masyarakat sebagai proses untuk meningkatkan potensi peserta didik yang dilakukan oleh anak usia sekolah didalam lingkup persekolahan itu sendiri. Padahal pada kenyataannya, seseorang menghabiskan waktu disekolah tidak lebih lama daripada geliat kegiatan yang lebih banyak menghabiskan waktu diluar sistem persekolahan.
Keberadaan perpustakaan sebagai sarana meningkatkan minat baca anak usia 3 hingga 6 tahun dirasa sangat penting, akan tetapi keberadaan perpustakaan seringkali tidak menjangkau berbagai daerah yang dirasa kurang strategis. Adanya perpustakaan keliling menggunakan tenaga kendaraan bermotor akan sangat membantu dorongan meningkatkan minat baca. Hal tersebut tidak mungkin berdiri sendiri, mesti ada hal lain yang mampu menarik dan mendukung agar peminat perpustakaan keliling menjadi makin banyak yaitu dengan metode dongeng oleh fasilitator perpustakaan dan juga antar sasaran agar persepsi bahwa membawa adalah satu hal yang membosankan dapat terhapus dan minat baca anak usia 3,5 hingga 6 tahun dapat meningkat.

Kata Kunci: Dongeng, kereta kelinci,minat baca



BAB I
PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang
Pendidikan sering diartikan sebagian besar masyarakat sebagai proses untuk meningkatkan potensi peserta didik yang dilakukan oleh anak usia sekolah didalam lingkup persekolahan itu sendiri. Padahal pada kenyataannya, seseorang menghabiskan waktu disekolah tidak lebih lama daripada geliat kegiatan yang lebih banyak menghabiskan waktu diluar sistem persekolahan. Dari sinilah mestinya terjadi perubahan paradigma mengenai arti pendidikan sesungguhnya, dimana pendidikan merupakan proses untuk meningkatkan potensi peserta didik yang tidak hanya berlangsung di dalam sistem persekolahan tapi juga didalam lingkup keluarga dan juga masyarakat yang sering diistilahkan sebagai informal dan non formal.
Coombs (1973) membedakan pengertian tiga jenis pendidikan sebagai berikut:
Pendidikan formal adalah kegiatan yang sistematis, berstruktur, bertingkat, berjenjang, dimulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi dan yang setaraf dengannya; termasuk kedalamnya kegiatan studi yang berorientasi akademis umum, program spesialisasi, dan latihan profesional, yang dilaksanakan dalam jangka waktu yang terus menerus.
Pendidikan informal adalah proses yang berlangsung sepanjang usia sehingga setiap orang memperoleh nilai, sikap, ketrampilan dan pengetahuan yang bersumber dari pengalaman hidup sehari- hari, pengaruh lingkungan termasuk didalamnya adalah pengaruh kehidupan keluarga, hubungan dengan tetangga, lingkungan pekerjaan dan permainan, pasar, perpustakaan, dan media massa.
Pendidikan non formal ialah setiap kegiatan terorganisasi dan sistematis, diluar sistem persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yanglebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu didalam mencapai tujuan belajarnya.[1]
Dari penggolongan yang telah disebutkan oleh Coombs, terlihat jelas bahwa pendidikan formal cenderung baku dan kaku, berorientasi pada akademis umum yang kadang tidak bersesuaian dengan apa yang ada di masa kini dan tentunya dibatasi pula oleh usia karena proses penjenjangan yang baku. Sedangkan pendidikan informal dan non formal cenderung fleksibel, tidak dibatasi usia atau penjenjangan tertentu, bisa dilaksanakan sepanjang hayat atau seumur hidup, ilmu yang didapat pun dapat disesuaikan dengan kebutuhan belajar dan dapat dilaksanakan dimana saja dan juga kapan saja. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya proses pendidikan dapat pula ditekankan dalam pendidikan informal dan non formal karena sesungguhnya sesorang memang hanya menghabiskan tidak banyak waktu di dalam lingkup pendidikan formal.
Di sebutkan lagi oleh Coombs bahwa pendidikan informal salah satunya melalui media perpustakaan. Akan tetapi pada kenyataannya, tidak semua masyarakat mampu mengakses perpustakaan. Hal ini dikarenakan, biasanya pengadaan perpustakaan baik oleh negara maupun oleh swasta biasanya hanya berada di pusat keramaian kota. Tidak meratanya akses perpustakaan ini lah yang menjadi salah satu faktor tidak meratanya minat baca pada anak khususnya yang berusia antara 3,5 hingga 6 tahun. Mestinya ada suatu program khusus yang mampu menyediakan fasilitas setara perpustakaan yang juga menjangkau berbagai wilayah yang kurang strategis atau jauh dari pusat keramaian. Untuk mewujudkan ide tersebut, kendaraan bermotor  yang di lengkapi sebuah bak berisi berbagai macam buku dirasa sangat pas dalam penerapannya. Paket kendaraan bermotor yang di lengkapi bak berisi buku ini tidak berdiri sendiri. Agar menarik minat sasaran, paket tersebut akan di lengkapi dengan metode dongeng. Metode dongeng tidak hanya di lakukan oleh fasilitator akan tetapijuga oleh sasaran itu sendiri terhadap sesama sasaran atau dongeng sebaya.
1.2              Manfaat
1      Memberi wadah pada tenaga penggerak yang memiliki kesadaran sosial tinggi kaitannya dengan peningkatan minat baca.
2      Meningkatnya kesadaran masyarakat atas pentingnya meningkatkan minat baca.
3      Meningkatkan minat baca anak usia 3,5 hingga 6 tahun.



BAB II
PEMBAHASAN
2.2       Spesifikasi
Rombeng (Rombong Dongeng) ini menggunakan kereta kelinci dan di dalam kereta menyediakan beragam buku cerita atau dongeng bagi anak-anak
            Pembiayaan:
No
Jenis Pengeluaran 
Biaya (Rp)
1.
Pembelian 1 unit kereta kelinci
Rp. 10.000.000
2.
Peralatan penunjang pendongeng (Boneka model, kotak setting sandiwara boneka)
Rp.      500.000
3.
Administrasi, publikasi, seminar, laporan.

Rp.   1.000.000

Total Biaya
Rp. 11.500.000

2.3       Cara Kerja
a.    Metode Pelaksanaan
1.    Sosialisasi terhadap perangkat desa dan masyarakat.
Sosialisasi dan mengurus perijinan adanya program terhadap perangkat desa. Kemudian sosialisasi program terhadap masyarakat melalui lembaga pendidikan, organisasi sosial dan keagamaan yaitu: Karang Taruna, PKK, Pengajian, TPQ, Taman Kanak- Kanak.
2.    Bekerja sama dengan organisasi Penyala Indonesia.
Merupakan cabang dari gerakan Indonesia Mengajar yang bergerak dalam bidang pengumpulan buku sekaligus pendistribusian buku- buku tersebut ke berbagaitempat yang memang di bidik dan di anggap membutuhkan. Kerjasama disini, di pergunakan agar program dapat berjalan lebih mudah dengan mendapat sokongan dari pendistribusi buku yang telah terpercaya.
3.    Bekerja sama dengan lembaga pendidikan, organisasi sosial maupun keagamaan masyarakat setempat.
Bekerja sama dengan Karang Taruna, PKK, Pengajian, TPQ, Taman Kanak- Kanak yang ada dalam lingkungan masyarakat setempat kaitannya dengan sosialisasi juga pengimpunan tenaga dan juga penghimpunan bahan- bahan yang di butuhkan dalam program.       

2.4       Kelebihan dan Kelebihan
            a. Kelebihan
·           Lebih menarik karena menggunakan media yang di sukai anak-anak yaitu kereta kelinci dan alat bantu dongeng seperti boneka tangan, buku dongeng/cerita bergambar dan boneka jari.
            b. Kelemahan
·           Pembiayaan lebih besar
·           Membutuhkan bahan bakar kendaraan, jika sewaktu-waktu bahan bakar kereta kelinci habis maka ROMBENG tidak dapat menjangkau sasaran.


·            

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Adanya inovasi pembelajaran “ROMBENG” Rombong Dongeng sangat bermanfaat.. Luaran yang diharapkan dari pelaksanaan program ini adalah adanya kesadaran masyarakat terhadap perubahan sosial dan pentingnya ilmu pengetahuan kaitannya dalam peningkatan minat baca anak usia 3,5 hingga 6 tahun. Kemudian, terjadi peningkatan minat baca untuk anak usia 3,5 hingga 6 tahun.






LAMPIRAN





Rabu, 27 November 2013

ACM Bagian I: ACM, dan Rasa Ingin Tahu Saya


ACM, banyak orang yang sudah tahu bahwa ACM merupakan kependekan dari “Aku Cepat Membaca”. Rasa penasaran menggelitik diri saya mengingat saya sendiri pernah melewati masa dimana saya mesti belajar membaca. Apa yang istimewa dengan ACM? Toh dulu, saya mampu membaca dan menulis berangkat dari rumah dengan ketelatenan ibu saya, bukan hasil metode tertentu atau hasil bimbingan di sekolah.
Rasa penasaran itu jugalah yang membuat saya mencari grup ACM di dalam media jejaring sosial facebook. Setelah masuk di dalam grup tersebut, saya mulai membaca- baca dokumen yang saya kira berkaitan dengan “Apa Itu ACM?”. Sejujurnya, dokumen- dokumen tersebut tidak menjelaskan apa pun bagi diri saya. Rasa penasaran saya tetap tidak terbayar mengenai “Apa Itu ACM?”. Rasa penasaran saya sedikit terobati manakala masuk sebuah kiriman tertanggal 26 oktober dari salah satu anggota grup yang mana menawarkan bedah ACM dalam bentuk file yang akan di kirim pada email masing- masing anggota grup yang berminat. Pada hari itu juga, saya langsung menyerahkan email dan nomor telepon saya sebagai prasyarat pengiriman file. Ternyata, begitu banyak orang yang menaruh rasa ingin tahu tinggi terhadap ACM, hal itu terlihat ketika saya menyerahkan nama dan nomor telepon sebagai prasyarat, saya merupakan orang ke lima puluh sekian pada hari tersebut.

 BERSAMBUNG..

Senin, 18 November 2013

SELAMAT DATANG!

Nama                             
Poppy Trisnayanti Puspitasari
Tempat/ Tanggal Lahir   
Malang, 05-06
Jenis Kelamin                  
Perempuan
Alamat                            
-
Agama                             
-
Email                                
-
Google Plus                      
Poppy Trisnayanti Puspitasari
Twitter                           
@TrisnayantiP / Poppy Trisnayanti P
Yahoo Messenger            
ttrisnayanti
PLS Universitas Negeri Malang/ UM 2012

ACM Bagian III: METODE ACM SANGAT EFEKTIF UNTUK PROGRAM PERCEPATAN PENUNTASAN BUTA AKSARA

Pendidikan merupakan sarana terpenting untuk mewujudkan kemajuan bangsa dan negara. Dengan pendidikan yang bermutu, akan tercipta sumber da...